Aceh Utara/liputaninvestigasi.com - Puluhan lembaga OKP, Ormawa, beserta LSM Se-Kabupaten Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe yang telah ber...
Aceh Utara/liputaninvestigasi.com - Puluhan lembaga OKP, Ormawa, beserta LSM Se-Kabupaten Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe yang telah bergabung dalam aliansi Gerakan Masyarakat Pase Peduli Air (GEMPUR) untuk bersama dalam aksi menolak dan mendesak pencabutan izin oleh Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah terhadap operasional PT. Rencong Pulp and Paper Industry (RPPI).
Perusahaan tersebut telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dengan area kerja seluas 10.384 hektar dengan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh dengan Nomor522.51/569/2011, serta perubahan SK Nomor522.51/441/2012. Hutan tersebut berada di Kecamatan Nisam Antara, Meurah Mulia, dan Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Sabtu (27/7/2019)
Kordinator GEMPUR dan juga menjabat sebagai Ketua DPM di Universitas Malikussaleh (Unimal) Muliadi Salidan mengatakan masyarakat Aceh Utara resah dan khawatir terhadap dampak terjadinya krisis air bagi kebutuhan hidup warga sebanyak 264.920 jiwa yang memiliki ketergantungan sumber air pada DAS Krueng Mane dan Krueng Pase.
Karena area izin PT. RPPI berada di kawasan hulu kedua DAS tersebut yang memiliki fungsi penyedia air bagi 13 Kecamatan, dari 27 Kecamatan yang ada di Aceh Utara. Selain untuk kebutuhan konsumsi, ketersediaan air juga untuk kebutuhan pertanian sawah, setidaknya luas sawah irigasi dalam kedua DAS dimaksud mencapai 17.288 Ha.
Dengan rincian, DAS Krueng Pase memiliki sawah irigasi 8.325 ha, serta DAS Krueng Mane 8.963 ha. dengan adanya kegiatan oprasional PT.RPPI ini jika terus-menerus dilakukan.
Menurut Musliadi, hutan Geureudong Pase termasuk kedalam hutan lindung, Kawasan Ekosistem Leuser, berstatus hutan lindung berdasarkan hukum Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 26/2006 dan Peraturan Pemerintah 26/2008, di tambah dengan adanya fakta hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.
Dalam Pasal 11, Ayat (2) disebutkan pemberian hak pengusahaan hutan untuk luas areal dibawah 10.000 hektar dapat dilimpahkan kewenangannya kepada Gubernur, Kepala Daerah Tingkat I. Sedangkan PT. RPPI memiliki luas 10.348 hektar.
"Logika hukumnya dimana izin dikeluarkan oleh Gubernur Aceh melalui SK Nomor 522.51/569/2011, serta perubahan SK Nomor 522.51/441/2012, dengan jangka waktu selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun seharusnya lebih dari 10.000 hektar ke atas izinnya itu di keluarkan oleh menteri" pungkas Musliadi
Hal senada juga di sampaikan oleh Muhammad Fadli selaku ketua Advokasi dan Kajian pada aliansi GEMPUR, jika ditelaah lebih jauh lagi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang HTI harus melakukan tata hutan dengan menginventarisasi potensi jenis, populasi dan habitat fauna yang ada dalam kawasan hutan.
Fadli menyebutkan, ketentuan tersebut termaktub dalam pasal 13 huruf b poin 2. Namun dalam prakteknya PT. RPPI jangankan melakukan penataan hutan dan menyusun perencanaan pengelolaan hutan dalam kawasan hutan produksi untuk Rencana Kerja Tahunan saja tidak ada.
"Informas tidak adanya RKT PT. RPPI merupakan hasil dari ground chek yang pernah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tanggal 22 September 2017. Dengan tidak adanya penetaan hutan yang baik oleh PT. RPPI maka potensi kehilangan satwa yang dilindungi sangat besar,
sperti, harimau, gajah dan burung rangkong." ungkapnya
Muhammad fadli menambahkan, atas izin tersebut dikhawatirkan akan hilangnya/mengganggu habibat satwa liar serta dampak lainnya seperti hilangnya sumber ekonomi warga dari hasil hutan non kayu, hilangnya lahan atau wilayah kelola masyarakat akibat dari tumpang tindih lahan dengan PT. RPPI dan terjadinya bencana alam.
Karena, kata M Fadli, sesuai dengan tata ruang Kabupaten Aceh Utara, kawasan IUPHHK – HTI PT. RPPI merupakan kawasan rawan bencana level menengah dan tinggi.
Oleh karena itu, dengan adanya fakta hukum dan dampak yang di khawatirkan masyarakat, aliansi GEMPUR melalui kordinator Musliadi Salidan, merekomendasikan.
1. Mendesak Plt Gubernur Aceh
untuk mencabut IUPHHK – HTI PT. RPPI berdasarkan ketentuan Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Izin
usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK –
HTI) Aceh, sebagai diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b. Karena PT. RPPI
tidak melaksanakan kegiatan usaha sesuai peraturan perundang
undangan, sehingga berdampak terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan sosial masyarakat.
2. Setelah pencabutan IUPHHK – HTI PT. RPPI, Gempur juga mendesak
Pemerintah Aceh untuk memfasilitasi pembentukan TORA atau Perhutanan Sosial bagi masyarakat setempat, sebagai upaya pemulihan kawasan hutan dan pemberdayaan perekonomian masyarakat. "Karena PT. RPPI akan mengancam keberlangsungan hidup generasi dan sumber air kita," tutupnya