liputaninvestigasi.com - Melihat seribu masalah dan kebijakan aneh yang terjadi di Aceh, maka tak heran banyak mahasiswa yang memilih unt...
liputaninvestigasi.com - Melihat seribu masalah dan kebijakan aneh yang terjadi di Aceh, maka tak heran banyak mahasiswa yang memilih untuk turun ke jalan menyuarakan keadilan. Mereka sudah gerah dengan pemerintah Aceh yang dinilai suka membuat kebijakan yang tidak pada tempatnya.
Aceh seperti kapal tanpa kemudi, katanya. Jangankan orang Aceh, bahkan ada berita yang mengatakan bahwa dunia heran melihat kemiskinan di Aceh. Jika kita melihat kemiskinan yang tinggi di Aceh, seharusnya pemerintah Aceh malu untuk menampilkan spanduk dan baliho besar di pinggiran jalan yang bertuliskan angka kemiskinan yang turun sangat sedikit, padahal dana Otsus (Otonomi Khusus) Aceh yang diberikan sejak tahun 2008 sangatlah melimpah. Harusnya kita semua malu! Iya, malu!
Kejadian kasus korupsi dan suap menyuap juga tidak dapat dihindarkan, dengan maraknya kejadian tersebut dan menjerat tokoh-tokoh Aceh, maka tidak heran jika Aceh menyandang juara 1 termiskin di Sumatera. Sejak 2008 hingga 2017, Aceh katanya ternyata telah menerima dana otsus sejumlah Rp 56,67 triliun. Seharusnya, dana sebanyak itu bisa mengubah keadaan Aceh. Tapi faktanya, pemerintah Aceh gagal total dalam merealisasikan kesejahteraan rakyat Aceh. Kita seharusnya malu!
Dana Otonomi Khusus Aceh tidak lama lagi akan berakhir. Jika mengacu pada UU Pemerintahan Aceh, pemberian dana otsus akan berakhir pada 2027. Pertanyaannya, apakah Aceh siap? Apakah Aceh akan semakin terpuruk dan miskin dengan dana Otsus yang akan berakhir, atau mampukah pemerintah Aceh melakukan manuver untuk menuntaskan kemiskinan di Aceh? Sekali lagi, jika pemerintah Aceh gagal maka mereka yang berkuasa seharusnya malu.
Disaat-saat keterpurukan Aceh, Kebijakan-kebijakan yang dinilai banyak menimbulkan kontra juga marak terjadi. Misalnya permasalahan cambuk di dalam lapas dan bukan ditempat terbuka, game, poligami, penutupan bandara saat Hari Raya Islam, izin pertambangan yang banyak merusak lingkungan dan banyak lagi kebijakan di Aceh yang membuat dunia heran melihat Aceh.
Pemerintah Aceh sepertinya tidak fokus kepada permasalahan-permasahan besar dan urgent, tapi lebih condong kepada permasalahan yang kurang urgent dan banyak menimbulkan kontra dan gejolak di masyarakat. Bagi segelintir aktivis, mereka mungkin banyak mengetahui masalah-masalah di Aceh.
Tapi sangat disayangkan, masih banyak juga pemuda Aceh yang sampai sekarang masih kurang tahu permasalahan-permasalahan di Aceh. Banyak dari mereka yang memilih menjadi apatis, dan menganggap masalah Aceh adalah masalah kelompok yang tua-tua saja. Sangat disayangkan jika ada pemikiran yang begitu!
Mahasiswa sebagai agen of change dan social control, diharapkan bisa mengawal pemerintah Aceh dalam merealisasikan visi dan misi sesuai yang diharapkan. Mahasiswa sebagai kaum intelijensi, yang artinya orang terpelajar dan bisa memikirkan jalan keluar masalah harus bisa memberikan solusi dan menegur pemerintah Aceh jika terjadi kesalahan-kesalahan agar tidak berkepanjangan. Perjuangan mahasiswa bukan hanya di bangku perkuliahan, bukan hanya dengan teori dosen tetapi perjuangan mahasiswa juga diwarnai dengan pergerakan dan parlemen jalanan!
Banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan, dan sampai pada saat ini, pergerakan mahasiswa Aceh masih belum berakhir. Masalah-masalah yang timbul di Aceh harus bisa diawasi oleh semua mahasiswa, jangan begitu mudah percaya dengan data yang ada, jika tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ini patut kita awasi dan curigai bersama-sama!
Akhir kata, penulis berharap agar pemerintah Aceh lebih bijak dalam membuat kebijakan dan mensejahterakan masyarakat Aceh, supaya kedepan tidak timbul lagi gejolak-gejolak di masyarakat. Pemerintah Aceh harus bersikap pro terhadap mahasiswa, jangan beringas! Karena mahasiswa sebagai koridor antara rakyat dan pemerintah untuk membantu dan saling bahu membahu dalam menuntaskan segala permasalahan. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Aceh! Panjang umur perjuangan!
Penulis: Sulthan Alfaraby (Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)