Banda Aceh – Menyusul rekomendasi yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah yang mendorong Pem...
Banda Aceh – Menyusul rekomendasi yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah yang mendorong Pemerintah Aceh untuk tidak melanjutkan pembahasan perubahan Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan bahkan mencabut qanun tersebut, Kurniawan S, S.H., LL.M, Pakar Hukum dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, memberikan pandangan mendalam.
Menurut Kurniawan, keberadaan KKR merupakan manifestasi dari hak istimewa Aceh yang diberikan oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai bagian dari pelaksanaan kekhususan Aceh dalam otonomi daerah.
Dalam surat tertanggal 7 November 2024 dengan nomor 100.2.1.6/9049/OTDA, Kemendagri menyarankan agar Qanun KKR dicabut dan agar rekonsiliasi di Aceh selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Menanggapi hal tersebut, Kurniawan menggarisbawahi bahwa secara yuridis, pembentukan KKR adalah kewenangan yang diberikan langsung kepada Pemerintah Aceh melalui Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“KKR Aceh didirikan bukan hanya sebagai lembaga, melainkan sebagai simbol kekhususan Aceh untuk menjalankan misi keadilan dan rekonsiliasi pasca-konflik,” tegas Kurniawan, yang juga Pengurus Wilayah Aceh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Pengurus Wilayah Aceh Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL). Kamis 14 November 2024.
Menurut Kurniawan, dasar hukum pendirian KKR Aceh bersumber dari amanat konstitusi Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap daerah-daerah dengan status khusus atau istimewa. Sebagai satu-satunya provinsi yang menggabungkan status keistimewaan dan kekhususan, Aceh memiliki hak membentuk lembaga-lembaga unik seperti KKR.
“Keberadaan KKR bukan hanya berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006, tapi juga merupakan implementasi dari MoU Helsinki tahun 2005, yang menjadi titik perdamaian penting bagi rakyat Aceh,” tambahnya.
Berbeda dengan BRA, KKR Memiliki Filosofi Pembentukan yang Unik
Kurniawan menekankan bahwa meskipun BRA dan KKR sama-sama bekerja di bidang rekonsiliasi, tujuan pembentukan keduanya berbeda. BRA lebih berfokus pada reintegrasi sosial, sedangkan KKR bertujuan mencari kebenaran dan rekonsiliasi atas peristiwa kekerasan masa lalu di Aceh.
“Upaya pembubaran KKR menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam terhadap makna filosofis pembentukan KKR yang berakar dari kebutuhan rakyat Aceh untuk rekonsiliasi yang lebih substantif,” tegas Kurniawan.
Menurutnya, langkah untuk mencabut qanun yang mengatur KKR Aceh mengabaikan aspek historis, filosofis, dan sosiologis dari proses perdamaian Aceh.
“KKR Aceh hadir bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan yuridis, tetapi sebagai bentuk penghargaan terhadap suara masyarakat Aceh yang terdampak konflik,” katanya. Kurniawan juga menyebut bahwa keberadaan KKR adalah hasil dari perjalanan panjang perdamaian di Aceh, yang melibatkan komitmen antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kewenangan Penuh Aceh dalam Menentukan Lembaga Daerahnya
Lebih lanjut, Kurniawan menyebut bahwa secara hukum, Pemerintah Pusat tidak berwenang mencabut atau membubarkan lembaga-lembaga yang didirikan atas dasar kekhususan dan keistimewaan Aceh, tegas Kurniawan yang saat ini sedang menempuh Studi Program Doktor Ilmu Hukum (DIH) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
“Relasi antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat seharusnya bersifat koordinatif, bukan sub-ordinatif. Pemerintah Aceh memiliki hak penuh dalam membentuk lembaga-lembaga seperti KKR berdasarkan hak otonomi yang diatur dalam UUPA,” jelas Kurniawan.
Pemerintah Aceh, tambahnya, memiliki kapasitas untuk memutuskan kebijakan yang melibatkan lembaga-lembaga khusus, termasuk KKR, yang diatur dalam qanun.
“Hubungan otonomi khusus ini menjadikan Pemerintah Aceh independen dalam beberapa hal, dan tidak tergantung pada kebijakan yang sepenuhnya berasal dari Pemerintah Pusat, sepanjang kewenangan tersebut belum dicabut atau diubah,” lanjutnya.
Tetap Mempertahankan KKR sebagai Wujud Aspirasi Rakyat Aceh
Kurniawan mendesak agar Pemerintah Aceh tetap mempertahankan KKR sebagai wujud dari aspirasi masyarakat Aceh yang menginginkan adanya lembaga yang memproses kebenaran dan rekonsiliasi dengan serius.
“Meskipun KKR belum sepenuhnya mencapai tujuannya, namun hal itu tidak berarti bahwa lembaga ini tidak diperlukan. KKR perlu dipertahankan untuk menghormati proses dan harapan masyarakat Aceh dalam memperoleh keadilan pasca-konflik,” tegas Kurniawan.
Ia juga menyarankan Pemerintah Aceh untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap capaian KKR agar kelembagaan tersebut dapat lebih efektif ke depannya.
“Dengan evaluasi, Pemerintah Aceh dapat memperbaiki dan merancang kebijakan serta program KKR agar dampaknya lebih nyata bagi masyarakat Aceh,” imbuhnya.
Eksistensi KKR Tidak Terkait dengan Pencabutan UU KKR Nasional
Menanggapi isu bahwa keberadaan KKR nasional telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Kurniawan menegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak serta-merta meniadakan KKR Aceh.
“Keberadaan KKR Aceh merupakan hasil atribusi dari UU Pemerintahan Aceh. Ini berbeda dengan KKR nasional yang sempat berdiri berdasarkan UU No. 27 Tahun 2004,” kata Kurniawan.
Ia menjelaskan bahwa KKR Aceh bukan bagian dari KKR nasional yang dicabut, melainkan berdiri sendiri sebagai lembaga khusus Aceh.
Menurut Kurniawan, keberadaan KKR Aceh adalah amanat dari UUD 1945 yang memberikan perlindungan terhadap daerah-daerah dengan status khusus seperti Aceh.
“KKR Aceh, seperti halnya Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD), didirikan dengan dasar hukum yang kuat dan harus tetap dijaga,” tegasnya.
Perlu Sikap Arif dan Bijaksana dari Pemerintah
Kurniawan menyarankan agar pemerintah pusat mempertimbangkan kembali pandangannya terkait eksistensi KKR.
“Keputusan pemerintah untuk mencabut atau mengubah qanun yang telah menjadi harapan rakyat Aceh harus dilakukan dengan hati-hati, bijaksana, dan dengan pemahaman mendalam terhadap sejarah dan kepentingan rakyat Aceh,” tambahnya.
Menurut Kurniawan, penyesuaian kebijakan yang terlalu dipaksakan dari pemerintah pusat tanpa memahami kedalaman makna KKR bagi rakyat Aceh dapat berisiko menciptakan gesekan baru dalam proses perdamaian di Aceh.
Ia menegaskan bahwa lembaga-lembaga khusus yang ada di Aceh, termasuk KKR, tidak hanya merupakan aspek formalitas, tetapi juga simbol penghormatan terhadap hak-hak masyarakat Aceh yang telah dijamin dalam peraturan yang berlaku.
Mengakhiri dengan Evaluasi, Bukan Pembubaran
Di akhir tanggapannya, Kurniawan menyatakan bahwa tantangan utama yang harus dihadapi Pemerintah Aceh adalah meningkatkan efektivitas KKR.
“Alih-alih mencabut qanun atau membubarkan KKR, Pemerintah Aceh sebaiknya melakukan evaluasi dampak terhadap kerja-kerja KKR serta berbagai kelembagaan khusus lainnya termasuk berbagai kelembagaan istimewa agar kelembagaan tersebut dapat memberikan dampak yang optimal bagi masyarakat Aceh di masa mendatang,” pungkas Kurniawan yang juga sebagai Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA).
Pernyataan Kurniawan ini menjadi sinyal bahwa eksistensi KKR Aceh sebagai lembaga rekonsiliasi sangat penting bagi keberlanjutan perdamaian di Aceh.
Dengan demikian, harapan untuk mempertahankan KKR sebagai simbol kekhususan Aceh dan sebagai wadah bagi rakyat Aceh untuk mendapatkan keadilan, harus menjadi prioritas yang dihormati oleh semua pihak.